Jumat, November 07, 2008

Siapa Suruh Datang Banjir

Musim penghujan nampaknya akan menjadi teman kita dalam beberapa bulan kedepan, tak terkecuali bagi masyarakat ibu kota. Pemandangan tanah becek, genangan air dan kemacetan sepertinya akan sering kita jumpai. Bagi sebagian masyarakat yang kebetulan tinggal dibantaran kali ciliwung, kampung melayu atau daerah lainnya yang dekat dengan aliran sungai, menyelamatkan barang-barang berharaga mereka menjadi rutinitas tahunan.


Biasanya air hujan menjadi tidak bersahabat ketika pintu air di Bogor dan Depok sudah tidak mampu lagi menampung limpahan air hujan. Letak geografis keduanya yang berada tinggi dari permukaan air laut, membuat jakarta selalu mendapat kiriman banjir dari keduanya. Banjir yang tak kenal kompromi pun tidak bisa dielakan, penderitaan masyarakat langganan banjir juga tidak mampu menahan kiriman air mengurungkan niatnya untuk datang membanjiri Ibu kota.

Bagi masyarakat ibu kota, banjir yang terjadi pada tahun 2007 adalah terparah dalam lima tahun terakhir, setelah tahun 2002 yang sempat melumpuhkan jakarta dalam beberapa hari. Banjir yang terjadi pada tahun tahun lalu, merendam hampir 80% wilayah Jakarta dengan Ketinggian air mencapai tiga meter. Praktis banjir yang mengepung hampir sepekan, melumpuhkan segala aktifitas warga dan infrastruktur. Setidaknya lebih dari seribu gardu listrik tidak berfungsi, tidak sedikit sambungan telepon terputus.

Moment musim penghujan memang selalu menjadi kontroversial, baik yang mengharap dengan sangat musim ini datang atau justru tidak menginginkan sama sekali, terutama bagi mereka yang selalu terkena langganan banjir. Petani misalnya, limpahan air hujan menjadi berkah tersendiri untuk mengairi lahan pertanian mereka. sebab, jika biasanya pada musim kemarau mereka harus berusaha dengan keras untuk mendapatkan air, maka tidak demikian ketika musim penghujan datang.

Aku jadi teringat kampung halamanku yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Jika musim kemarau tiba, tidak sedikit dari mereka saling berebut mendapatkan air atau bergiliran mendapatkan air. Ini aku ketahui ketika tidak sengaja aku sering melihat tetanggaku memakai pakaian kebesaran pada malam hari. Maksudku pakaian kebesaran adalah topi bulat yang terbuat dari anyaman bambu, cangkul dan sepatu but, sebuah tribut khas petani. ketidaklaziman itu membuat aku bertanya seputar rutinitas malam hari mereka, karena menurut logikaku saat itu, bagaimana mungkin di hari yang masih sangat gelap mereka melakukan aktifitas di sawah. Belakang aku ketahui , ternyata rutinitas malam hari mereka untuk mendapat giliran air. Biasanya mereka menambak jalur air yang masuk ke lahan yang sedang dialiri air, untuk dibelokan atau diarahkan kelahan yang akan dialiri air sesuai giliran. Bagi yang memiliki lahan dibelakang aliran sungai, harus lebih ekstra sabar untuk menunggu giliran yang lumayan cukup lama.

Namun tidak demikian dimata mereka yang selalu mendapat langganan banjir. musim penghujan selalu menjadi hari-hari yang melelahkan baik moril ataupun materil. Perasaan was-was biasanya kerap kali menghantui mereka, bahkan tidak sedikit dari mereka mulai bersiap-siap sedini mungkin memindahkan barang-barang ketempat yang lebih aman dan lebih tinggi tentunya.

Bagi mereka yang bergelut dalam dunia wacana dan opini, musim penghujan dan banjir menjadi moment untuk menyuarakan pandangan dan pendapat mereka melalui media massa. Biasanya, pemerintah adalah pihak yang tidak luput dari sorotan. Mulai pertanyaan yang tendensinya menyindir, sampai pernyataan yang sifatnya penghakiman atas ketidakbecusan mengelola Negara.

Untuk kondisi itu, jujur aku sependapat dengan para kolumnis, pemerintah memang terkadang hanya berwacana. Misalnya saja, pada November 2006 untuk menghadapi banjir lima tahunan, yang diprediksikan akan terjadi pada tahun 2007, pemerintah DKI Jakarta sudah melakukan persiapan sedini mungkin. Tidak tanggung-tanggung angka 200 milyar lebih dipersiapkan untuk menangani ancaman banjir. Alokasi dana sebear itu digunakan untuk pembangunan pompa air, pembuatan saringan air sungai dan pembuatan waduk pluit di Jakarta utara yang akan menelan dana 4 miliar lebih. Tidak hanya itu, dana cadangan sebesar lebih dari 500 miliar juga telah disiapkan. Bahkan sebanyak 100 perahu karet dan sistem peringatan dini sudah dipersiapkan.

Namun ternyata persiapan tinggal persiapan. Segala wacana yang dipersiapkan pemerintah DKI tidak juga mencegah banjir datang. Bahkan sistem peringatan dini yang sudah disiapkan, ternyata tidak berfungsi. Yang lebih menyedihkan adalah penangana korban banjir dilapangan, ternyata tidak sesuai blue print penangaan yang sudah disipakan dengan alokasi dana miliaran rupiah yang telah diwacanakan sebelumnya. Lalu apa yang salah???

Ketika kondisi dan harapan tidak sepaham, menyalahkan dan melempar tanggung jawab menjadi kebiasaan mental bangsa kita. Premprov DKI misalnya, ketika pihaknya tidak juga mampu mencegah banjir dengan sekenario yang sudah disusunya, daerah penyangga Jakarta seperti bogor, puncak dan sekitarnya biasanya menjadi tumbal. Dengan alasan ketidakbecusan daerah penyangga jakarta dalam mengelola peghijauan. Lahan yang seharusnya dijadikan serapan air, justru dibangun tempat-tempat peristirahatan atau Vila.

Tak bisa dipungkiri memang, banjir sepertinya sudah menjadi sebuah rutinitas bangsa ini. Letak negara kita yang tepat berada di garis khatulistiwa, membuat Indonesia memiliki dua musim, kemarau dan hujan. Iklim tropis juga membuat indonesia memiliki curah hujan yang tinggi.

Fenomena banjir tahunan atau banjir langganan, kupikir harus jernih melihat masalah ini, melakukan hal-hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya bisa menjadi salah satu solusi pencegahan banjir. Terutama Bagi masyarakat yang mendiami hulu-hulu sungai untuk tidak lagi membuang sampah ke sungai.

Jika semua pihak baik pemerintah atau masyarakat hanya saling menyalahkan, aku pikir itu tidak menyelesaikan masalah, mengingat bencana banjir terjadi karena adanya satu kesatuan sistem yang tidak berjalan denga baik. ketika kita terus berada pada persiteruan yang saling menyalahkan, bukanlah cara yang bijak dan solusi tidak akan pernah datang. Bertindak mungkin pencegahan banjir secara kongkrit. Sekecil apapun tindakan kita, ketika itu hanya sebatas wacana, solusi tidak pernah akan datang. Hukum alam memeperlihatkan kepada kita bahwa solusi selalu bersatu pada tindakan, apapun itu bentuknya.

Selamat datang hujun…salamat datang banjir….keep smile

Kos, 1.50 PM – diluar lagi hujan deras

imie

Tidak ada komentar: