Selasa, November 04, 2008

Kita dan Malysia

pada bulan juni tahun lalu, saat saya berkunjung ke Malaysia untuk mengikuti ASEAN CAMPUS JURNALIST, ada sesuatu yang membuat saya sedikit terheran-heran dan akhirnya bisa sedikit menyimpulkan latar belakang kenapa negeri jiran sering kali mengkalim seni da budaya kita adalah miliknya.

Begini kira-kira ceritanya, untuk lebih mengenalkan budaya da seni malaysia panitia membawa kami berkunjung kesalah satu desa, tepatnya di daerah Johor yang tidak begitu jauh dari Kuala Lumpur. Untuk sampai kesana Perjalanan yang ditempuh hanya memakan waktu kurang lebih 60 menit dengan menggunakan jalan darat.

Parit Bugis adalah nama desa itu, Sekilas bagi kita yang ada di Indonesia nama itu sepertinya tidak asing lagi ditelinga, yaitu salah satu suku yang ada di daerah Sulawesi sana.

Seperti kebanyakan negara dalam menyambut tamu-tamu kenegaranya, acara ceremonial sepertinya tidak pernah ditinggalkan, entahlah apakah ini sebuah tradisi atau salah satu cara mempromosikan negara melalui seni dan budayanya didepan 22 delegasi dari 10 negara anggota ASEAN. Meskipun kegiatan penyambutan seperti ini hanya sebuah ceremonial, tapi saya rasa cukup efektif untuk memperkenalkan seni dan budaya bagi pendatang khususnya tamu-tamu negara. kesimpulan ini didapat saat saya berbincang-bincang dengan salah satu delegasi dari Vietnam dan Kamboja, betapa dia begitu semangat bercerita tentang malaysia, tentunya tentang hal-hal baru yang tidak mereka temui dinegaranya.

Awalnya saya penasaran tentang upacara penyambutan yang diadakan oleh penduduk Parit Bugis, karena saat itu saya berpikir akan menyaksikan sebuah seni dan budaya yang tidak ditemukan di negara saya, seperti yang dirasakan oleh dua teman saya tadi. Ekpresi rasa ingin tahu yang cukup tinggi pun menyelinap dalam benak saya, hal demikian pun terlihat dari ekpresi yang diperlihatkan teman-teman dari negara lain. Satu yang kutangkap dari ekpresi mereka adalah rasa penasaran pada pertunjukan yang akan diperlihatkan pada kami semua.

Tapi ternyata apa yang saya pikirkan dalam perjalanan tentang pertunjukan seni dan budaya Parit Bugis tidak membuat saya terkagum-kagum seperti halnya yang terjadi pada teman-teman dari negara-negara lain, justru rasa kecewa yang ada dalam hati. saya hanya berpandangan dan terus berkomunikasi dengan bahas tubuh kami saja dengan teman yang juga dari Indonesia, saat pertunjukan Reog dan Kuda Lumping meliuk-liuk didepan kami, dengan iringan musik yang begitu sangat khas ditelinga kami.

Padahal saya berharap dapat menunjukan wajah seperti yang terlihat diwajah teman-teman saya yang terlihat begitu terpukau melihat pertunjukan seni Reog dan Kuda Lumping yang dibawakan. Justru yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah " loh kok Reog dan Kuda Lumping? kesenian ini kan sering saya lihat di Indonesia?.."

Keterheranan saya terus berlanjut sampai waktu makan siang, karena kebetulan seluruh delegasi diajak untuk mencicipi cita rasa masakan khas desa Parit Bugis yang lagi-lagi tidak asing dilidah saya. Ada ketan hitam yang disiram dengan santan ( kalau di Indonesia biasanya jadi campuran bubur kacang ijo ) , daging balado, Tape ( peuyem ) tentunya dengan nama yang berbeda. Duh saya jadi menyesal tidak dapat menuliskan nama lain makanan itu karena buku yang berisi catatan nama-nama makanan itu hilang dan sampai sekarang belum ditemukan.

Keterheranan dan rasa penasaran saya dengan banyaknya persamaan baik seni, budaya atau makanan yang ada pada akhirnya terjawab, itu juga saya dapatkan setelah saya berbincang dengan salah satu penduduk yang kebetulan berasal dari Indonesia yang sudah menetap lama di desa ini dan menjadi warga negara Malaysia. Menurut penjelasan beliau nenek Moyang Desa Parit Bugis ternyata berasal dari Bugis Makasar Sulawesi dan pulau jawa. Wah..mendengar cerita penduduk itu saya jadi menyimpulkan sendiri bahwa banyaknya persamaan baik makanan dan budaya yang ada di desa ini ternyata karena nenek moyangnya berasal dari Indonesia.

Bisa jadi hal itulah kenapa banyak sekali budaya kita yang diklaim milik negara tetangga yang memang masih serumpun.

Jadi tak heran jika pemberitaan media massa akhir-akhir ini tentang hubungan Diplomatik antara Indonesia dan malaysia semakain meruncing saja, lagi-lagi yang menjadi akar permasalahanya adalah klaim-mengklaim budaya. Sebut saja seni "Reog" yang berasal dari daerah Ponorogo Jawa Timur, lagu daerah Maluku " Rasa sayange", seni sunda "Angklung", "Batik". Jika sudah begini mungkin cara yang bijak dan bermartabat adalah dengan mendaftarkan seluruh seni dan budaya kita kepada HAKI, agar tidak lagi terjadi klaim-mengklaim budaya.

Imie
2.41 PM

Tidak ada komentar: