Senin, November 24, 2008

Kemerdekaan "kebebasan"

Di penghujung Oktober kemarin, tepatnya di minggu terakhir, keinginanku untuk mengunjungi adikku yang saat ini menetap di kota kembang bandung, terealisasi juga. Itu pun setelah beberapa kali tertunda. Kesibukan selalu menjadi alasan klasik. Biasanya adikku selalu bilang "kamu payah" acap kali aku mengurungkan niatku untuk menyambanginya.

Selepas dzuhur aku menuju bandung dengan bus Primajasa jurusan Jakarta-Tasik. Dan ini kali pertamanya aku menggunakan bus ke luar kota dalam setahun terakhir. Karena biasanya, kereta api menjadi pilihan favoritku. Rasanya ada kenyamanan tersendiri saat berada di dalam gerbong. Hamparan sawah yang hijau, natural, bebas kemacetan dan bunyi khas dari gesekan roda baja dengan lempengan besi jalur kereta yang ditimbulkanya. Tapi, jangan harap bunyi khas itu akan terdengar ketika gerbong eksekutif menjadi pilihan. Design kedap suara kelas satu, membuat suara khasnya akan samar terdengar, bahkan tak terdengar.

Untuk melihat kondisi bangsa kita tentang kemiskinan yang belum juga terselesaikan, berada didalam gerbong kereta adalah pilihan yang tepat. Sebab, kita akan menyaksikan fakta kemiskinan yang sesungguhnya, tanpa terdistorsi organisasi media yang mewartakan kondisi ini. Aku jadi teringat dosen pembimbing skripsiku dulu, ketika kami terlibat dalam diskusi yang sengit bagaimana media mewartakan sebuah fakta. Aku, nota bane mahasiswa yang masih belum terkontaminasi oleh hal praktis, serta masih berpegang teguh pada teori-teori jurnalistik bahwa fakta merah harus diwartakan merah, tentunya menentang dengan tegas pernyataan beliau bahwa fakta merah dilapangan bisa jadi biru, kuning atau kelabu ketika ada dihadapan pembaca.

Dengan senyum renyahnya, Dosen sekaligus partner diskusi terbaikiku ini, mengeluarkan dan memberikan sebuah buku berwarna hitam, bergambar kepala manusia terbungkus koran berjudul analisis wacana sebuah pengantar. Belakang setelah diskusi dan kulahap isi buku itu, aku mengerti bahwa fakta merah tidak lagi ditampikan merah, mengingat adanya distorsi (pengaruh) ketika fakta berada dalam proses pewartaan, salah satunya adalah organisasi media. (mungkin dilain waktu menarik menjadi bahan tersendiri untuk dibahas diruang ini.he..he..)

Merujuk pada sedikit analisis yang dikatakan buku langka pinjaman dari dosenku itu, dibalik jendela kereta adalah media yang tepat untuk melihat fakta dan realitas sebenarnya. Rumah petak yang penuh sesak, berhimpitan dan terbangun dengan material seadanya adalah pemandangan khas disisi jalur kereta. Kadang aku tak habis pikir bagaiman mereka menempati rumah dengan kondisi seperti itu. Padahal hampir semua bangunan tanpa fentilasi udara, jauh dari sehat dan tidak layak huni, ditambah bisingnya suara gerbong ini acap kali melintas. Meski demikian bangunan-bangunan itu tetap menjadi surga bagi mereka, menjadi pelindung dari matahari dan hujan. Bahkan, aku tak pernah menyaksikan wajah –wajah mereka yang mengisyaratkan kondisi yang sebenarnya. Karena, canda, tawa masih dapat aku saksikan dibalik jendela kereta.

Itulah kesan yang kutangkap dari transportasi ini, meski banyak orang yang mengkliam bahwa perjalanan dengan menggunakan kereta api, sungguh perjalanan yang membosankan. Sebab, sejauh mata memandang hanya deretan sawah dan rawa-rawa yang tak pernah putus, rumah-rumah petak yang jauh dari layak. Tapi buatku, justru disitulah letak bagaimana alam mengajari kita untuk bersyukur atas keadaan dan keberadaan kita saat ini. ketika kita dapat tidur dengan tenang diatas kasur pegas yang empuk, bagaimana dengan mereka? Biasanya aku Cuma tertunduk malu, tiap kali pemandangan itu ku saksikan. Malu pada Tuhan karena kurangnya syukur atas nikmat yang lebih dari mereka.

**

Matahari masih sangat menyengat ketika aku tiba di terminal Lebak Bulus, Jakarta selatan, padahal jam tangan yang melingkar ditangan kananku sudah menunjukan pukul 3 sore. Seharusnya keadaan udara sudah lebih menurunkan suhunya, tapi rupanya kondisi siang itu membenarkan perkiraan Badan Meteorology dan Geofisika (BMG) bahwa dalam beberapa bulan kedepan cuaca akan tidak menentu.

Saat kakiku baru saja melangkah keluar dari Metro Mini 86 jurusan Kota – Lebak bulus, aku dirundung ke bingungan. Berbagai jenis bus berjejer disana untuk berbagai tujuan. Rupanya kebingunganku tertangkap oleh salah seorang premaan, ini hanya kesimpulanku sementara, mengingat dia berdiri didepan pos pintu masuk, dengan baju dan gaya khas penguasa terminal. Aku hanya melempar senyum padanya dan berusaha tidak menunjukan wajah kebingungan layaknya orang asing. "pantangan bagi kita terlihat bingung dan canggung ketika berada di tempat baru, apalagi di terminal. Justru kita harus menunjukan seolah-olah kita sudah terbiasa di tempat ini." itu yang selalu bapakku katakan tiap kali aku akan bepergian keluar kota. Meski petuah-petuah yang selalu diyakini bahwa anaknya akan baik-baik saja, tapi aku selalu merasakan kekhawatiran yang tersirat pada matanya, acap kali aku pamit untuk pergi tanpa pantauannya, mungkin karena aku anak gadisnya. Ah..Bapak tenang saja, anakmu ini bisa menjaga diri. Setidaknya sabuk kuning yang pernah aku dapatkan dapat menolongku dari gangguan diluar sana. Aku membatin tiap kali melihat kekhawatiran dimatanya.

Terkadang sikap kepercayaan yang orang tuaku berikan, membuat iri sebagian temanku. Aku bersyukur memiliki orang tua yang begitu demokratis. Mereka tidak pernah memperlakukan kami (anak-anaknya) seperti sebuah boneka. Justru mereka menghargai hak-hak kami sebagai seorang anak dan individu. Memberikan pilihan beserta dampaknya adalah metode mereka mendidik kami. “ Bapak tidak pernah melarang kalian untuk bergaul dengan siapapun, ketika kalian memiliki filter, tapi jangan pernah coba-coba kalian masuk kepergaulan itu (khususnya pergaulan yang kurang baik), jika kalian tidak punya filter”. (filter disini artinya benteng yang kuat dalam diri kami. Dapat menyaring mana yang baik dan buruk.

Dulu bapakku menjelaskan filter adalah busa yang ada dibelakang sebuah rokok. Busa itu menurut penjelasan sederhananya adalah alat penyaring nikotin dari zat yang ada dalam rokok sebelum masuk kedalam paru-paru). Entahlah dariman beliau mendapatkan analogi itu, mengingat beliau bukanlah perokok. Itulah petuah sakti bapakku. Enam tahun masa remajaku setelah peralihan dari masa kanak-kanak dan selama itu pula petuah itu selalu diputar berulang-ulang oleh bapakku. Allhamdulilah hasilnya cukup efektif bagi kami, meski berbagai macam latar belakang teman dan pergaulan yang aku miliki, bersyukur aku masih tetap menjadi diriku.

“Wah ga ada yang kecil neng?” lelaki setengah baya berseragam dinas Perhubungan Republik Indonesia yang berdiri di depanku dan disamping laki-laki yang kusimpulkan preman tadi, membuyarkan lamunanku dengan suara paraunya seraya mengembalikan uang kertas yang cukup untuk mentraktir tiga posri paket hemat plus pajak di KFC, yang tadi kuberikan padanya. Dengan senyum manis yang aku punya, aku menggeleng bahwa aku hanya memiliki uang pecahan kecil sejumlah itu. Lelaki yang berbadan tegap dengan warna kulit sedikit gelap akibat sengatan matahari, akhirnya mengembalikan uangku. Senyuman ramahnya membebaskan aku dari uang retrebusi. Sambil berlalu aku ucapkan terima kasih pada lelaki yang ku taksir usianya sekitar tiga puluh lima, namun rutinitas pekerjaanya membuat dia terlihat sepuluh tahun terlihat lebih tua.

Senyuman memang obat yang paling mujarab dan tiada duanya. Senyuman pun bisa menjadi keajaiban yang luar bisa. Cerita bapakku suatu waktu, perihal kekuatan senyuman yang mengantarkanya kepelukan ibuku.“tapi ingat senyumnya harus dari hati dan Percaya atau tidak ketika kita tersenyum wajah kita akan menampakan aura yang indah.”

*

Langkah kakiku hampir ke tengah terminal, setelah kutinggalkan pos pintu masuk dan dua penjaga tadi. Namun belum juga aku menemukan bus jurusan Jakarta – Tasik sesuai petunjuk adikku. Awalnya aku bingung menerima penjelasan adikku yang memintaku untuk menggunakan bus jurusan yang sedikitpun tidak merepresentasikan (menjelaskan) Bandung yang akan menjadi tujuanku. Rupanya adikku merespon ketidakpahamanku, karena suaraku diujung telepon selular terdiam beberapa saat. Setelah panjang lebar ia jelaskan, penjelasanya cukup bisa kuterima, mengapa harus menggunakan bus jurusan kota yang berada di sebelah timur kota Bandung ini. Sebab bus yang akan aku tumpangi ini akan melewati tol Cileunyi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal adikku.

“Neng kamana..ayo..tasik..tasik..” lelaki berwajah bulat ciri khas tanah pasundan, yang ku terka seorang kondektur, menawariku untuk menggunakan armadanya dengan logat khas sunda. Puncuk dicinta ulam tiba, akhirnya aku menemukan bus yang aku cari. Bisikku dalam hati. Sesaat ketika hendak menuju pintu bus, suara pangilan adzan sayup-sayup terdengar. Di depan pintu aku sempat terdiam antara apakah aku langsung naik atau memenuhi panggilan yang mempunyai langit. “ayo neng…huyuan atuh asup, geus tenang wae teuh bakal disasarkeun..” (ayo neng…cepet masuk, tenang saja ga bakal di sasarin) logat sundanya kembali terdengar. mungkin dia menangkap keragu-raguanku untuk naik ke atas bus. Sebelum akhirnya aku putuskan untuk naik kedalam bus, aku meminta kondektur untuk menungguku beberapa menit untuk pergi sholat. Beruntung senyum hangatnya yang terlempar padaku mengisyaratkan memenuhi permintaanku.

Kurang dari lima belas menit aku sudah berada di dalam bus, rupanya waktu tercepat bertemu dengan-Nya. Kuasa dan cintanya semoga selalu memaklumi. Sesaat setelah berada di dalam bus yang masih tidak terlalu penuh, kujatuhkan pilihanku pada bangku yang berada di tengah, dibaris bangku dua. Kusibakan kain gordeng yang menutupi kaca hitam yang menghalangi pandanganku keluar jendela. Dengan bebas mataku dapat menangkap pandangan diluar. Perlahan bus mulai bergerak meninggalkan terminal dan semakin membelakangi terminal.

**

Kondisi penumpang yang masih relatif kosong, bus yang kutumpangi tidak langsung masuk ke tol dalam kota, namun bus berjalan disisi jalan bebas hambatan untuk terus mencari penumpang. Laju bus semakin diperlambat ketika berada di perempatan uki, bahkan bus sempat berhenti beberapa saat. Kondisi ini membuat aku senewen, karena pastinya malam hari aku akan sampai di bandung, pasalnya, ketika kulirik arloji dipergelangan tanganku sudah menunjukan pukul empat sore.

Buku biru the secret of happiness karangan Ricard Schoch yang dari tadi tidak luput dari pandangan mataku menjadi tidak menarik, ketika mataku menangkap pandangan yang tidak lazim seorang pedagang CD yang menjajakan dagangannya didalam pagar sebuah taman yang tidak terawat. Seperti transaksi dari dan luar terali besi, aku membatin, saat kusaksikan lelaki muda sedang memilih beberapa tumpukan CD yang dipajang. Kembali aku menangkap keganjilan, pasalnya tumpukan CD yang dijual, berada di didalam pelastik hitam, dan hanya beberapa CD saja yang terlihat di permukaan.

Sontak mataku tak berkedip melihat pemandangan yang ada didepanku, saat bus benar-benar berhenti mencari penumpang. Bukan lantaran karena aku menikmati pemadangan itu. Ini karena wanita-wanita muda yang berpose dengan berbagai gaya erotis yang menjadi label dari CD tersebut membuat aku miris, karena diperjual belikan secara bebas, ditempat umum pula. Aku semakin miris ketika bocah kecil yang berusia kurang dari 10 tahun, jika kutebak dari apa yang ada di genggamanya, sebuah tumpukan tutup botol yang ia satukan pada sebatang kayu, dan jika benda itu digoyang kekiri dan kekanan pastinya akan menimbulkan nada adalah pengamen, menikmati juga pemandangan itu. Negeri kita memang sudah carut marut.

Memoriku langsung memutar mundur pada beberapa hari yang lalu, saat terlibat diskusi tentang pengesahan rancangan undang-undang anti pornografi dan porno aksi, belakangan setelah disahkan namanya berubah menjadi undang-undang pornografi. UU ini tidak hanya salah kaprah, tapi juga akan mengekang hak individu. Argumentasi temanku saat itu. Bukankah berpakain adalah hak individu, mengapa Negara ikut capur dalam urusan ini. seharusnya negara berpikir bagaimana negeri ini sejahtera, kemiskinan terkurangi, angkatan kerja diperluas. Protesnya pada salah satu pasal yang menurut argumentasinya menyeret wilayah individu.

Hmmm..memang ada benarnya juga pendapat temanku, mengingat kebhinekaan negeri kita, membuat UU Pornografi menuai pro dan kontra, bahkan menimbulkan sentiment-sentimen tersendiri terhadap beberapa keyakinan. Gelombang-gelombang unjuk rasa yang sering kita saksikan di media massa, jelas menggambarkan bahwa wilayah agama terseret disana. Dan ini adalah wilayah rijit di negeri yang hidup berbagai keyakinan didalamnya. Seharusnya pemerintah tidak menjadi agen yang akhirnya menyeret sentiment-sentiment keyakinan, dengan mengatur bagaimana berbusana. Lebih baik itu menjadi urusan keyakinan masing-masing. “ya tapi tidak bisa seperti itu, itu artinya kamu mendukung kebebasan yang digembar-gemborkan dunia barat, mau jadi apa negeri kita ini, klo tidak ada aturan yang jelas.” Temanku yang lain menjegal pendapatku.

Aku hanya melempar senyum padanya. Begini Ndar, kebebasan memang produk barat, karena kebebasan lahir disana, tapi tidak ada yang salah dengan kebebasan ketika kita memahami arti kebebasan yang sesungguhnya. Memang tidak bisa dipungkiri, dalam budaya kita, kebebasan dipandang sebagai cara hidup yang bebas. Sek bebas, kehidupan yang tidak bermoral, intinya bebas selalu diidentikan dengan liar dan keliaran. Jika nilai bebas seperti itu, dengan tegas aku juga akan mengatakan fuck of freedom. Tapi bagi peletak dasar paham liberal, dimana kebebesan merupakan produk yang diadopsi paham tersebut, sederhana saja kok memformulakan arti bebas atau kebebasan, bahwa anda bebas sebebas-bebasnya selama anda tidak mengancam, mengganggu, membahayakan orang lain. Artinya batas kebebasan kita adalah kebebasan orang lain, dan kebebasan kita harus dihentikan mana kala kita sudah mengancam kebebasan orang lain. Itu saja formulanya.

Tapi coba pelan-pelan kita pahami bahwa kebebasan mengandaikan mahluk yang secara alami memilki kemampuan untuk merasa dan memilih. Memang benar kadang kebebasan selalu dikhawatirkan dengan berbagai pandangan, bahwa jika individu dibiarkan bebas memilih maka orang tersebut akan memilih hal-hal yang buruk. Tapi Ndar, entah kenapa aku tidak yakin dengan asumsi tersebut. Coba kita pahami apa yang dikatakan filsuf asal Jerman Imanuel Kant pada abad ke-19, dia percaya bahwa manusia mampu memilih, mampu tumbuh dan dalam proses itulah terjadi pembelajaran. Kalau individu selalu terus-menerus dibuatkan pilihan dari otoritas diluar dirinya, aku yakin individu tersebut tidak kunjung matang dan berkembang.

Aku jadi teringat sahabatku jaman SMP dulu. Dia berada pada lingkungan keluarga yang sangat otoriter, hampir seluruh ruang geraknya sebagai individu tidak dihargai. Misalnya saja tidak boleh ada teman lelakinya yang dekat dengan dia. Tidak boleh telat pulang ke rumah meski karena kegiatan organisasi di sekolah. Kakuknya pakem yang kelurganya buat, karena kekhawatiran orang tua akan pergaulan anaknya yang tidak sehat.

Menurut ku Ndar, ketika orang tua mengkhawatirkan anaknya terjerumus pergaulan yang tidak baik itu wajar, orang tua mana sih yang tidak ingin anak-anaknya menjadi kebanggana keluarga. Tapi cara yang dilakukan orang tua sahabatku ini, aku pikir kekhawatirkan yang berlebihan dengan mengekang “kebebasan” anak. Lalu dengan memberlakukan aturan itu apa secara otomatis harapan mereka terwujud? Dengan tegas aku jawab TIDAK!! Ndar. Justru yang terjadi pada sahabatku ini malah membrontak dengan tidak mematuhi aturan yang dibuat keluarganya. Dan (maaf) aku kadang sedih melihat keadaan sahabatku sekarang. Dia hamil diluar nikah dan terjerumus pada pergaulan yang tidak sehat.

Kemerdekaan “kebebasan” itu penting Ndra, beberapa tahun yang lalu, ketika aku gagal mendaki gunung karena ada upaya orang tuaku melarang pendakian itu, namun gagalnya pendakian bukan semata-mata karena larangan orang tua. Orang tuaku hanya memaparkan dua sisi baik dan buruk jika aku memutuskan mendaki gunung saat itu, karena cuaca saat itu tidak memungkinkan untuk melakukan pendakian. Meski demikian ada kemerdekaan yang mereka berikan padaku, mengingat segala keputusaan mereka serahkan sepenuhnya padaku. Dan ketika akhirnya aku memutuskan mengamini apa yang mereka minta, bukan semata-mata desakan mereka, namun itu lebih pada hasil dari kejernihan melihat sebuah persoalan. Kemerdekan “kebebasan” yang diberikan kepadaku membuat aku belajar bahwa persoalan harus dipandang dari berbagai sisi.

Kondisi yang dialami sahabatku menguraikan betapa kebebasan untuk merasa, memilih dan tumbuh itu penting. Dan ada proses disana, biarkan proses itu berjalan, dan yakin pada fitrah manusia, bahwa Tuhan menciptakan manusia dibekali dengan otak untuk berpikir, hati untuk merasa. Anggukan pelan Hendar mengakhiri diskusi kami saat itu.

****

Perlahan bus meninggalkan perempatan UKI serta manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab dari sebuah sisitem regulasi kacau negeri ini. Dan Ketika CD porno yang dijual bebas di perempatan UKI, apa masih penting memperdebatkan masalah yang menjadi tanggung jawab individu??

Kos - 1.12 PM

Imie

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Imie...aku nikmati setiap rangkaian kata yang kamu tulis,sungguh indah dan sarat akan ilmu. Aaah, beruntung sekali aku menemukan saudaraku yang luar biasa ini. Aku yakin, tidak hanya logika, tapi hati juga selalu menjadi campuran formulanya saat dia mulai menari-kan jari-jarinya diatas keyboard.
Ingin rasanya aku melakukan suatu perjalanan denganmu kawan, melihat segala hal dari berbagai sisi,dan tentu saja bercerita panjang lebar hingga akhir perjalanan kita...
Imie...teruslah menulis, karena itu adalah duniamu yang paling kamu sukai...jangan pernah berhenti...
Aku harap secepatnya aku bisa mengunjungimu dan membuat rencana perjalanan dengamu :)
Your Pals,
-Onink-