Jumat, November 28, 2008

Sedikit Refleksi Kemahasiswaan

Menjadi mahasiswa berarti meneruskan tugas belajar, melanjutkan studi sebelum terjun kedunia nyata. Konsekwensinya keharusan mencapai prestasi akademik sebaik mungkin dan menunaikan tanggung jawab pada diri sendiri juga orang tua.

Lepas dari itu, mahasiswa juga memiliki tanggung jawab sosial, menjadi agen perubahan alias agent of change sebagai alat kontrol bagi negara dan cadangan energi bangsa di masa depan. Dengan mendapat label kaum intelektual, mahasiswa seharusnya mampu berperan di luar kelasnya. Dan berorganisasi adalah salah satu cara mengasah kepekaan pada lingkungan. Kepekaan itulah yang dari masa-kemasa melahirkan gerakan mahasiswa yang tercatat dalam sejarah. Sebut saja Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, hingga pergerakan reformasi.

Banyak tokoh di negara kita juga yang lahir dari organisasi kampus. Sebut saja Akbar Tanjung, Amin Rais, dan Nurkholis Madjid. Sebagai orang yang terlahir dari organisasi kemahasiswaan, mereka bisa disebut matang dan berani menyuarakan pemikiran-pemikiran yang kritis.

Organisasi adalah bagian dari denyut nandi kehidupan kampus. Jantung kampus sepertinya tak berdetak tanpa organisasi kemahasiswaan. Warna kampus juga juga pucat tanpa gerakan-gerakan mereka. Tidak hanya itu, organisasi juga memompa kualitas diri, prestasi dan produktifitas.

Sayangnya, banyak yang mencibir organisasi kemahasiswaan sebagai kegiatan buang-buang waktu. Mengingat dunia organisasi justru akan menggangu dunia akademik. Dasarnya adalah tidak sedikit ulah mahasiswa yang menggangu ketertiban masyarakat. Demonstrasi yang selalu berakhir ricuh. Demikian kira-kira asumsi yang merasa terganggu akibat sejumlah ulah mahasiswa. Mereka sepertinya tidak dapat menerima sikap kritis yang terlahir dari perbincangan organisasi.

Asumsi lain yang mengatakan bahwa organisasi kemahasiswaan dapat mengganggu belajar, menyita waktu, pikiran dan tenaga. Sebaliknya belajar membuahkan prestasi akademis, dan mengasa kognisi. Dengan begitu sukses akademis maka kelak, sukses pula di masyarakat.

Padahal organisasi adalah bagian yang tidak kalah penting dari akademik. Dunia organisasi justru akan membentuk soft skill, dan ini sangat diperlukan ketika mahasiswa terjun pada lingkungan masyarakat. Mengingat dalam organisasi kita akan belajar bagaimana menjadi pemimpin, bekerja sama dengan team work, disiplin dalam waktu, berkomunikasi dan berelasi. Dimana semua hal itu sangat diperlukan bagi pembentukan prilaku seseorang.

Tidak hanya itu, seringnya bergulat dengan masalah diluar tugas kuliah dan ujian semester akan menajamkan kematangan emosional, tentunya menjadi modal tersendiri saat kelak memasuki dunia nyata. Karena dunia nyata tidak tidak hanya memerlukan orang pandai, namun juga pemain tim, pandai bertoleransi, pendengar yang baik, terampil bicara, dan berpendapat.

Selain itu, Mahasiswa yang aktif berorganisasi akan mampu berkiprah lebih luas dalam lingkungan masyarakat, serta memiliki kemampuan leadership atau kepemimpinan yang baik. Sebab, masalah kepemimpinan tidak saja mampu membuat seseorang melakukan apa yang kita inginkan, namun bagaimana berhadapan dengan berbagai masalah yang begitu kompleks.

Riset menyatakan, faktor penentu kesuksesan seseorang adalah sikap dan keterampilan berinteraksi. Dan semua itu tidak diajarkan dalam kelas yang serba akademis.

Sayangnya, masih sedikit yang menyadari investasi jangka panjang organisasi kemahasiwaan. Aktif berorganisasi dicurigai membuat studi terbengkalai, khawatir waktu tersita, ini membuat mahasiswa enggan aktif di kampus. atau bisa jadi karena kecenderungan berpikir kalkulatif.

Tidak ada salahnya memadukan keduanya, belajar sebagai tanggung jawab pada diri sendiri dan orang tua dan berorganisasi sebagai modal memasuki dunia nyata yang sesungguhnya dalam masyarakat, maka dawai kesuksesan akan dengan mudah terangkai, demikian kira-kira pepatah bijak mengatakan.

Bukankah alam mengajarkan kepada kita bahwa apapun bentuknya, kesuksesan akan lahir dari keseimbangan. Begitupula dalam konteks ini. Tidak ada salahnya memadukan keduanya dan dilakukan dalam waktu yang bersamaan, tanpa harus di pertentangkan. Merajut korelasi positif antara ruang kelas dan dunia luar bearti menapaki jalan menuju kesuksesan, supaya tidak muncul pertanyaan, pilih IPK tinggi atau organisasi?


Imie, 4.43 PM

Pernah di muat di kolom "Rostrum" Media Indonesia, 15 Mei 2007

















Senin, November 24, 2008

Kemerdekaan "kebebasan"

Di penghujung Oktober kemarin, tepatnya di minggu terakhir, keinginanku untuk mengunjungi adikku yang saat ini menetap di kota kembang bandung, terealisasi juga. Itu pun setelah beberapa kali tertunda. Kesibukan selalu menjadi alasan klasik. Biasanya adikku selalu bilang "kamu payah" acap kali aku mengurungkan niatku untuk menyambanginya.

Selepas dzuhur aku menuju bandung dengan bus Primajasa jurusan Jakarta-Tasik. Dan ini kali pertamanya aku menggunakan bus ke luar kota dalam setahun terakhir. Karena biasanya, kereta api menjadi pilihan favoritku. Rasanya ada kenyamanan tersendiri saat berada di dalam gerbong. Hamparan sawah yang hijau, natural, bebas kemacetan dan bunyi khas dari gesekan roda baja dengan lempengan besi jalur kereta yang ditimbulkanya. Tapi, jangan harap bunyi khas itu akan terdengar ketika gerbong eksekutif menjadi pilihan. Design kedap suara kelas satu, membuat suara khasnya akan samar terdengar, bahkan tak terdengar.

Untuk melihat kondisi bangsa kita tentang kemiskinan yang belum juga terselesaikan, berada didalam gerbong kereta adalah pilihan yang tepat. Sebab, kita akan menyaksikan fakta kemiskinan yang sesungguhnya, tanpa terdistorsi organisasi media yang mewartakan kondisi ini. Aku jadi teringat dosen pembimbing skripsiku dulu, ketika kami terlibat dalam diskusi yang sengit bagaimana media mewartakan sebuah fakta. Aku, nota bane mahasiswa yang masih belum terkontaminasi oleh hal praktis, serta masih berpegang teguh pada teori-teori jurnalistik bahwa fakta merah harus diwartakan merah, tentunya menentang dengan tegas pernyataan beliau bahwa fakta merah dilapangan bisa jadi biru, kuning atau kelabu ketika ada dihadapan pembaca.

Dengan senyum renyahnya, Dosen sekaligus partner diskusi terbaikiku ini, mengeluarkan dan memberikan sebuah buku berwarna hitam, bergambar kepala manusia terbungkus koran berjudul analisis wacana sebuah pengantar. Belakang setelah diskusi dan kulahap isi buku itu, aku mengerti bahwa fakta merah tidak lagi ditampikan merah, mengingat adanya distorsi (pengaruh) ketika fakta berada dalam proses pewartaan, salah satunya adalah organisasi media. (mungkin dilain waktu menarik menjadi bahan tersendiri untuk dibahas diruang ini.he..he..)

Merujuk pada sedikit analisis yang dikatakan buku langka pinjaman dari dosenku itu, dibalik jendela kereta adalah media yang tepat untuk melihat fakta dan realitas sebenarnya. Rumah petak yang penuh sesak, berhimpitan dan terbangun dengan material seadanya adalah pemandangan khas disisi jalur kereta. Kadang aku tak habis pikir bagaiman mereka menempati rumah dengan kondisi seperti itu. Padahal hampir semua bangunan tanpa fentilasi udara, jauh dari sehat dan tidak layak huni, ditambah bisingnya suara gerbong ini acap kali melintas. Meski demikian bangunan-bangunan itu tetap menjadi surga bagi mereka, menjadi pelindung dari matahari dan hujan. Bahkan, aku tak pernah menyaksikan wajah –wajah mereka yang mengisyaratkan kondisi yang sebenarnya. Karena, canda, tawa masih dapat aku saksikan dibalik jendela kereta.

Itulah kesan yang kutangkap dari transportasi ini, meski banyak orang yang mengkliam bahwa perjalanan dengan menggunakan kereta api, sungguh perjalanan yang membosankan. Sebab, sejauh mata memandang hanya deretan sawah dan rawa-rawa yang tak pernah putus, rumah-rumah petak yang jauh dari layak. Tapi buatku, justru disitulah letak bagaimana alam mengajari kita untuk bersyukur atas keadaan dan keberadaan kita saat ini. ketika kita dapat tidur dengan tenang diatas kasur pegas yang empuk, bagaimana dengan mereka? Biasanya aku Cuma tertunduk malu, tiap kali pemandangan itu ku saksikan. Malu pada Tuhan karena kurangnya syukur atas nikmat yang lebih dari mereka.

**

Matahari masih sangat menyengat ketika aku tiba di terminal Lebak Bulus, Jakarta selatan, padahal jam tangan yang melingkar ditangan kananku sudah menunjukan pukul 3 sore. Seharusnya keadaan udara sudah lebih menurunkan suhunya, tapi rupanya kondisi siang itu membenarkan perkiraan Badan Meteorology dan Geofisika (BMG) bahwa dalam beberapa bulan kedepan cuaca akan tidak menentu.

Saat kakiku baru saja melangkah keluar dari Metro Mini 86 jurusan Kota – Lebak bulus, aku dirundung ke bingungan. Berbagai jenis bus berjejer disana untuk berbagai tujuan. Rupanya kebingunganku tertangkap oleh salah seorang premaan, ini hanya kesimpulanku sementara, mengingat dia berdiri didepan pos pintu masuk, dengan baju dan gaya khas penguasa terminal. Aku hanya melempar senyum padanya dan berusaha tidak menunjukan wajah kebingungan layaknya orang asing. "pantangan bagi kita terlihat bingung dan canggung ketika berada di tempat baru, apalagi di terminal. Justru kita harus menunjukan seolah-olah kita sudah terbiasa di tempat ini." itu yang selalu bapakku katakan tiap kali aku akan bepergian keluar kota. Meski petuah-petuah yang selalu diyakini bahwa anaknya akan baik-baik saja, tapi aku selalu merasakan kekhawatiran yang tersirat pada matanya, acap kali aku pamit untuk pergi tanpa pantauannya, mungkin karena aku anak gadisnya. Ah..Bapak tenang saja, anakmu ini bisa menjaga diri. Setidaknya sabuk kuning yang pernah aku dapatkan dapat menolongku dari gangguan diluar sana. Aku membatin tiap kali melihat kekhawatiran dimatanya.

Terkadang sikap kepercayaan yang orang tuaku berikan, membuat iri sebagian temanku. Aku bersyukur memiliki orang tua yang begitu demokratis. Mereka tidak pernah memperlakukan kami (anak-anaknya) seperti sebuah boneka. Justru mereka menghargai hak-hak kami sebagai seorang anak dan individu. Memberikan pilihan beserta dampaknya adalah metode mereka mendidik kami. “ Bapak tidak pernah melarang kalian untuk bergaul dengan siapapun, ketika kalian memiliki filter, tapi jangan pernah coba-coba kalian masuk kepergaulan itu (khususnya pergaulan yang kurang baik), jika kalian tidak punya filter”. (filter disini artinya benteng yang kuat dalam diri kami. Dapat menyaring mana yang baik dan buruk.

Dulu bapakku menjelaskan filter adalah busa yang ada dibelakang sebuah rokok. Busa itu menurut penjelasan sederhananya adalah alat penyaring nikotin dari zat yang ada dalam rokok sebelum masuk kedalam paru-paru). Entahlah dariman beliau mendapatkan analogi itu, mengingat beliau bukanlah perokok. Itulah petuah sakti bapakku. Enam tahun masa remajaku setelah peralihan dari masa kanak-kanak dan selama itu pula petuah itu selalu diputar berulang-ulang oleh bapakku. Allhamdulilah hasilnya cukup efektif bagi kami, meski berbagai macam latar belakang teman dan pergaulan yang aku miliki, bersyukur aku masih tetap menjadi diriku.

“Wah ga ada yang kecil neng?” lelaki setengah baya berseragam dinas Perhubungan Republik Indonesia yang berdiri di depanku dan disamping laki-laki yang kusimpulkan preman tadi, membuyarkan lamunanku dengan suara paraunya seraya mengembalikan uang kertas yang cukup untuk mentraktir tiga posri paket hemat plus pajak di KFC, yang tadi kuberikan padanya. Dengan senyum manis yang aku punya, aku menggeleng bahwa aku hanya memiliki uang pecahan kecil sejumlah itu. Lelaki yang berbadan tegap dengan warna kulit sedikit gelap akibat sengatan matahari, akhirnya mengembalikan uangku. Senyuman ramahnya membebaskan aku dari uang retrebusi. Sambil berlalu aku ucapkan terima kasih pada lelaki yang ku taksir usianya sekitar tiga puluh lima, namun rutinitas pekerjaanya membuat dia terlihat sepuluh tahun terlihat lebih tua.

Senyuman memang obat yang paling mujarab dan tiada duanya. Senyuman pun bisa menjadi keajaiban yang luar bisa. Cerita bapakku suatu waktu, perihal kekuatan senyuman yang mengantarkanya kepelukan ibuku.“tapi ingat senyumnya harus dari hati dan Percaya atau tidak ketika kita tersenyum wajah kita akan menampakan aura yang indah.”

*

Langkah kakiku hampir ke tengah terminal, setelah kutinggalkan pos pintu masuk dan dua penjaga tadi. Namun belum juga aku menemukan bus jurusan Jakarta – Tasik sesuai petunjuk adikku. Awalnya aku bingung menerima penjelasan adikku yang memintaku untuk menggunakan bus jurusan yang sedikitpun tidak merepresentasikan (menjelaskan) Bandung yang akan menjadi tujuanku. Rupanya adikku merespon ketidakpahamanku, karena suaraku diujung telepon selular terdiam beberapa saat. Setelah panjang lebar ia jelaskan, penjelasanya cukup bisa kuterima, mengapa harus menggunakan bus jurusan kota yang berada di sebelah timur kota Bandung ini. Sebab bus yang akan aku tumpangi ini akan melewati tol Cileunyi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal adikku.

“Neng kamana..ayo..tasik..tasik..” lelaki berwajah bulat ciri khas tanah pasundan, yang ku terka seorang kondektur, menawariku untuk menggunakan armadanya dengan logat khas sunda. Puncuk dicinta ulam tiba, akhirnya aku menemukan bus yang aku cari. Bisikku dalam hati. Sesaat ketika hendak menuju pintu bus, suara pangilan adzan sayup-sayup terdengar. Di depan pintu aku sempat terdiam antara apakah aku langsung naik atau memenuhi panggilan yang mempunyai langit. “ayo neng…huyuan atuh asup, geus tenang wae teuh bakal disasarkeun..” (ayo neng…cepet masuk, tenang saja ga bakal di sasarin) logat sundanya kembali terdengar. mungkin dia menangkap keragu-raguanku untuk naik ke atas bus. Sebelum akhirnya aku putuskan untuk naik kedalam bus, aku meminta kondektur untuk menungguku beberapa menit untuk pergi sholat. Beruntung senyum hangatnya yang terlempar padaku mengisyaratkan memenuhi permintaanku.

Kurang dari lima belas menit aku sudah berada di dalam bus, rupanya waktu tercepat bertemu dengan-Nya. Kuasa dan cintanya semoga selalu memaklumi. Sesaat setelah berada di dalam bus yang masih tidak terlalu penuh, kujatuhkan pilihanku pada bangku yang berada di tengah, dibaris bangku dua. Kusibakan kain gordeng yang menutupi kaca hitam yang menghalangi pandanganku keluar jendela. Dengan bebas mataku dapat menangkap pandangan diluar. Perlahan bus mulai bergerak meninggalkan terminal dan semakin membelakangi terminal.

**

Kondisi penumpang yang masih relatif kosong, bus yang kutumpangi tidak langsung masuk ke tol dalam kota, namun bus berjalan disisi jalan bebas hambatan untuk terus mencari penumpang. Laju bus semakin diperlambat ketika berada di perempatan uki, bahkan bus sempat berhenti beberapa saat. Kondisi ini membuat aku senewen, karena pastinya malam hari aku akan sampai di bandung, pasalnya, ketika kulirik arloji dipergelangan tanganku sudah menunjukan pukul empat sore.

Buku biru the secret of happiness karangan Ricard Schoch yang dari tadi tidak luput dari pandangan mataku menjadi tidak menarik, ketika mataku menangkap pandangan yang tidak lazim seorang pedagang CD yang menjajakan dagangannya didalam pagar sebuah taman yang tidak terawat. Seperti transaksi dari dan luar terali besi, aku membatin, saat kusaksikan lelaki muda sedang memilih beberapa tumpukan CD yang dipajang. Kembali aku menangkap keganjilan, pasalnya tumpukan CD yang dijual, berada di didalam pelastik hitam, dan hanya beberapa CD saja yang terlihat di permukaan.

Sontak mataku tak berkedip melihat pemandangan yang ada didepanku, saat bus benar-benar berhenti mencari penumpang. Bukan lantaran karena aku menikmati pemadangan itu. Ini karena wanita-wanita muda yang berpose dengan berbagai gaya erotis yang menjadi label dari CD tersebut membuat aku miris, karena diperjual belikan secara bebas, ditempat umum pula. Aku semakin miris ketika bocah kecil yang berusia kurang dari 10 tahun, jika kutebak dari apa yang ada di genggamanya, sebuah tumpukan tutup botol yang ia satukan pada sebatang kayu, dan jika benda itu digoyang kekiri dan kekanan pastinya akan menimbulkan nada adalah pengamen, menikmati juga pemandangan itu. Negeri kita memang sudah carut marut.

Memoriku langsung memutar mundur pada beberapa hari yang lalu, saat terlibat diskusi tentang pengesahan rancangan undang-undang anti pornografi dan porno aksi, belakangan setelah disahkan namanya berubah menjadi undang-undang pornografi. UU ini tidak hanya salah kaprah, tapi juga akan mengekang hak individu. Argumentasi temanku saat itu. Bukankah berpakain adalah hak individu, mengapa Negara ikut capur dalam urusan ini. seharusnya negara berpikir bagaimana negeri ini sejahtera, kemiskinan terkurangi, angkatan kerja diperluas. Protesnya pada salah satu pasal yang menurut argumentasinya menyeret wilayah individu.

Hmmm..memang ada benarnya juga pendapat temanku, mengingat kebhinekaan negeri kita, membuat UU Pornografi menuai pro dan kontra, bahkan menimbulkan sentiment-sentimen tersendiri terhadap beberapa keyakinan. Gelombang-gelombang unjuk rasa yang sering kita saksikan di media massa, jelas menggambarkan bahwa wilayah agama terseret disana. Dan ini adalah wilayah rijit di negeri yang hidup berbagai keyakinan didalamnya. Seharusnya pemerintah tidak menjadi agen yang akhirnya menyeret sentiment-sentiment keyakinan, dengan mengatur bagaimana berbusana. Lebih baik itu menjadi urusan keyakinan masing-masing. “ya tapi tidak bisa seperti itu, itu artinya kamu mendukung kebebasan yang digembar-gemborkan dunia barat, mau jadi apa negeri kita ini, klo tidak ada aturan yang jelas.” Temanku yang lain menjegal pendapatku.

Aku hanya melempar senyum padanya. Begini Ndar, kebebasan memang produk barat, karena kebebasan lahir disana, tapi tidak ada yang salah dengan kebebasan ketika kita memahami arti kebebasan yang sesungguhnya. Memang tidak bisa dipungkiri, dalam budaya kita, kebebasan dipandang sebagai cara hidup yang bebas. Sek bebas, kehidupan yang tidak bermoral, intinya bebas selalu diidentikan dengan liar dan keliaran. Jika nilai bebas seperti itu, dengan tegas aku juga akan mengatakan fuck of freedom. Tapi bagi peletak dasar paham liberal, dimana kebebesan merupakan produk yang diadopsi paham tersebut, sederhana saja kok memformulakan arti bebas atau kebebasan, bahwa anda bebas sebebas-bebasnya selama anda tidak mengancam, mengganggu, membahayakan orang lain. Artinya batas kebebasan kita adalah kebebasan orang lain, dan kebebasan kita harus dihentikan mana kala kita sudah mengancam kebebasan orang lain. Itu saja formulanya.

Tapi coba pelan-pelan kita pahami bahwa kebebasan mengandaikan mahluk yang secara alami memilki kemampuan untuk merasa dan memilih. Memang benar kadang kebebasan selalu dikhawatirkan dengan berbagai pandangan, bahwa jika individu dibiarkan bebas memilih maka orang tersebut akan memilih hal-hal yang buruk. Tapi Ndar, entah kenapa aku tidak yakin dengan asumsi tersebut. Coba kita pahami apa yang dikatakan filsuf asal Jerman Imanuel Kant pada abad ke-19, dia percaya bahwa manusia mampu memilih, mampu tumbuh dan dalam proses itulah terjadi pembelajaran. Kalau individu selalu terus-menerus dibuatkan pilihan dari otoritas diluar dirinya, aku yakin individu tersebut tidak kunjung matang dan berkembang.

Aku jadi teringat sahabatku jaman SMP dulu. Dia berada pada lingkungan keluarga yang sangat otoriter, hampir seluruh ruang geraknya sebagai individu tidak dihargai. Misalnya saja tidak boleh ada teman lelakinya yang dekat dengan dia. Tidak boleh telat pulang ke rumah meski karena kegiatan organisasi di sekolah. Kakuknya pakem yang kelurganya buat, karena kekhawatiran orang tua akan pergaulan anaknya yang tidak sehat.

Menurut ku Ndar, ketika orang tua mengkhawatirkan anaknya terjerumus pergaulan yang tidak baik itu wajar, orang tua mana sih yang tidak ingin anak-anaknya menjadi kebanggana keluarga. Tapi cara yang dilakukan orang tua sahabatku ini, aku pikir kekhawatirkan yang berlebihan dengan mengekang “kebebasan” anak. Lalu dengan memberlakukan aturan itu apa secara otomatis harapan mereka terwujud? Dengan tegas aku jawab TIDAK!! Ndar. Justru yang terjadi pada sahabatku ini malah membrontak dengan tidak mematuhi aturan yang dibuat keluarganya. Dan (maaf) aku kadang sedih melihat keadaan sahabatku sekarang. Dia hamil diluar nikah dan terjerumus pada pergaulan yang tidak sehat.

Kemerdekaan “kebebasan” itu penting Ndra, beberapa tahun yang lalu, ketika aku gagal mendaki gunung karena ada upaya orang tuaku melarang pendakian itu, namun gagalnya pendakian bukan semata-mata karena larangan orang tua. Orang tuaku hanya memaparkan dua sisi baik dan buruk jika aku memutuskan mendaki gunung saat itu, karena cuaca saat itu tidak memungkinkan untuk melakukan pendakian. Meski demikian ada kemerdekaan yang mereka berikan padaku, mengingat segala keputusaan mereka serahkan sepenuhnya padaku. Dan ketika akhirnya aku memutuskan mengamini apa yang mereka minta, bukan semata-mata desakan mereka, namun itu lebih pada hasil dari kejernihan melihat sebuah persoalan. Kemerdekan “kebebasan” yang diberikan kepadaku membuat aku belajar bahwa persoalan harus dipandang dari berbagai sisi.

Kondisi yang dialami sahabatku menguraikan betapa kebebasan untuk merasa, memilih dan tumbuh itu penting. Dan ada proses disana, biarkan proses itu berjalan, dan yakin pada fitrah manusia, bahwa Tuhan menciptakan manusia dibekali dengan otak untuk berpikir, hati untuk merasa. Anggukan pelan Hendar mengakhiri diskusi kami saat itu.

****

Perlahan bus meninggalkan perempatan UKI serta manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab dari sebuah sisitem regulasi kacau negeri ini. Dan Ketika CD porno yang dijual bebas di perempatan UKI, apa masih penting memperdebatkan masalah yang menjadi tanggung jawab individu??

Kos - 1.12 PM

Imie

Minggu, November 09, 2008

Kemenangan Obama dan Impian Marthin Luther King









Jika hari ini Marthin Luther King masih berada diantara kita, aku yakin dia akan tersenyum bangga, berdiri tegak dengan membusungkan dada, dan tidak henti-hentinya berkata “ This is a dream” ketika melihat kehidupan Amerika saat ini, terutama pada hasil pemilu yang dimenangkan oleh kulit hitam pertama, Barack Obama.

Kemenangan Obama membuat kata sederhana “I Have A Dream” yang terlempar dalam orasinya penuh semangat dan inspiratif di depan makam Abraham Liclon, dan ribuan buruh kulit hitam saat berdemonstrasi atas ketidakadilan ras. Rupanya tidak hanya sekedar kata populer yang pernah terlontar oleh tokoh kharismatik King akan sebuah mimpi. Berlahan namun pasti kata itu akan menjadi nyata.

Hal yang sama juga akan dirasakan oleh mantan presiden Amerika ke-35 Jhon F Kennedy. Kemenangan pria yang pernah tinggal selama 4 tahun di Indonesia, juga akan mewujudkan keinginan Kennedy untuk membawa Amerika pada kehidupan yang lebih baik, hilangnya diskriminasi dan warna kulit. rupanya akan segera terwujud.

Setali tiga uang dengan keduanya, Abraham Liclon, pria kelahiran Kentucky 12 februari 1809 ini, juga memiliki mimpi yang sama membawa Amerika bebas dari segala bentuk penindasan, perbudakan dan diskriminasi. Keinginan ini dilatar belakangi oleh perang saudara yang terjadi pada tahun 1861-1865, yang dipicu oleh masalah perbudakan dan hak-hak sipil. Peristiwa ini mencapai puncaknya pada tahun 1862 di Negara bagian Pennysilvania atau yang terkenal dengan sebutan konfrontasi Gettysburg.

Impian-impian ketiganya dan aku yakin masih banyak tokoh-tokoh yang tidak disebutkan, berharap sebuah kehidupan yang lebih baik di Amerika akan menjadi nyata. Mengingat saat mereka masih melihat dan merasakan sejarah, penindasan, diskriminasi, rasisime terjadi didepan mata mereka.

Memutar memori pada beberapa abad yang lalu, sejarah dengan jelas mencatat, pada abad ke-19 terjadi sebuah pembantaian bangsa asli Amerika Yaitu Indian. Pembantaian ini dilatarbelakangi atas perebutan tanah antar bangsa asli dan pendatang dari eropa. Hampir 70 ribu bangsa Indian, terusir dari tanah kelahiranya dan terjadinya pembunuhan masal.

Pada tahun 1934 setelah peristiwa itu, pemerintah membentuk sebuah kebijakan “Reorganization Act”. Dengan kebijakan itu, bangsa Indian mendapat pengakuan oleh pemerintah. Tapi rupanya itu hanya sebatas pengakuan, sebab secara hak asasi manusia, bangsa Indian tetap saja mendapat perlakuan diskriminasi dengan menempatkan mereka di kawasan tertentu atau layaknya sebuah penampungan yang terisolasi. Bukankah ini bukti bahwa masalah ras dan diskriminasi begitu sangat mengakar disana. Maka tidak heran jika King, Kennedy dan Linclon memiliki mimpi yang sama untuk membebaskan Amerika dari diskriminasi, penindasan dan perbudakan.

Kemenangan presiden terpilih Barack Obama, rupanya menjadi titik terang akan perjuangan dan pengorbanan ketiganya, atau mungkin tidak hanya titik terang tapi sebuah kenyataan akan mimpi-mimpi mereka. Kemenangan Barack Obama atas rivalnya Jhon Mc Cain, memang sebuah kemenangan yang cukup mengejutkan. Meski banyak lembaga survey dunia memastikan Obama akan dengan mudah melenggang ke White House, tapi tidak sedikit dari kita yang tetap pesimis akan dukungan penuh terhadap Obama, dengan ras yang dimiliki dan kenyataan bahwa dirinya keturunan kulit hitam.

Dengan mengantongi lebih dari 300 electoral vote dari rivalnya Mc Cain yang hanya mampu mengumpulkan dukungan sebanyak kurang dari 200 electoral Vote. Obama sudah dapat memenangkan pemilu, meski pelantikan baru akan terjadi pada 20 november 2008 nanti. Sejarah mencatat, 43 presiden negeri adidaya ini selalu di dominasi kulit putijh, kemenangan Obama mampu mendobrak dominasi dan menjadi satu-satunya presiden Amerika kulit hitam pertama.

Dalam sejarah politi AS, istilah M-W-P-A masih menjadi syarat mutlak bagi pemimpin tertinggi Amerika. “M” diartikan male, yaitu laki-laki. “W” diartikan White, yaitu kulit putih. “P” diartikan protestan, yaitu beragama protestan. Dan “A” diartikan Anglo Saxon, yaitu nenek moyang Eropa khususnya inggris.

Pada abad 21 ini, pandangan bahwa Amerika bangsa yang rasis, memang sudah jauh lebih baik dibanding masa-masa abad ke-18. Namun meski berubah wajah, diskriminasi ternyata masih saja ditemukan di Amerika. Sebelum akhirnya Barack Obama menjadi presiden terpilih, bukankah sering kita saksikan bagaimana kedua kubu berkampanye.

Saya teringat berita pada sebuah harian ibu kota yang memberitakan pendapat Mc Cain tentang kepantasan rivalnya Barack Obama untuk melenggang ke gedung putih. Dengan tegas Mc Cain mengatakan bahwa Obama tidak memilki kesetaraan performa seperti presiden Amerika yang diabdikan dalam bentuk uang dolar. Kesetaran disini diartikan dengan warna kulit Obama yang hitam. Harian prancis “Liberation” juga mengambarkan kampanye Mc Cain yang bertendensi rasisme, kalau tidak salah begini bunyinya “Apakah mampu seorang presiden kulit hitam merubah Amerika”

Obama senator asal Ilinois, hari ini mampu mencetak sejarah baru di Amerika. Kemenangan laki-laki yang pernah bersekolah di SD Menteng ini, setidaknya mampu mewujudkan impian King, Kennedy dan linclon untuk menghilangkan rasisme yang sudah lama berakar di Amerika. Kepercayaan masyarakat Amerika terhadap Obama, menyatakan dengan tegas, jika perubahan yang diharapkan King, Kennedy dan Linclon benar-benar membuahkan hasil. Meski Obama terlahir dari keragaman etnik, mengingat Ayahnya, Barack Husein Obama, berasal dari suku lou, merupakan suku terbesar di Kenya, dan Ibunya Stanley Ann Dunham, seorang antropologis keturunan Amerika yang lahir di Kansas. Namun keragaman yang dimiliki Obama nyatanya tidak juga menyurutkan masyarakat Amerika untuk tidak memilih Obama sebagai orang nomer satu di Amerika. Kemenangan suami Michail Obama, setidaknya dapat membawa angin segar perubahan pandangan diskriminasi warna kulit di Amerika.

Keragaman dalam keluarga besar pria yang pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia ini, semoga dapat menjadi landasan kuat bagi pemerintahan Obama dalam membuat kebijakan-kebijakan Amerika. Mengingat kebijakan Amerika akan membawa dampak bagi masyarakat dunia. Bukankah indvidu yang terbentuk dan berada dalam sebuah keragaman akan jauh lebih muda menghargai, menghormati serta memahami.

Kemenangan Obama yang membuat decak kagum seluruh penjuru dunia, semoga juga tidak hanya menjadi uforia sesaat. Lantas terhanyut oleh kedudukan tinggi dan lupa akan janji-janji kampanye. Bukankah ini adalah sifat amnesia para pemimpin ketika kedudukan, kenyamanan, kemudahan telah dinikmatinya.

Melihat pemikiran-pemikiran Obama yang terlihat berbeda dari pendahulunya Bush, seperti menghentikan invasi di Irak serta menarik mundur pasukan dari negara yang kaya akan timah hitam itu, semoga juga tidak mengikuti pendahulunya Jhon F Kennedy yang ditembak sniper di Dalas, Texsas, sepekan setelah dirinya terpilih menjadi presiden AS yang ke-35, oleh lawan politiknya yang tidak suku pada kebijakan Kennedy untuk mendatangkan mahasiswa asal Afrika bersekolah di Amerika. Atau nyawa Linclon yang berakhir di tangan simpatisan lawan politiknya, di Washington DC saat dirinya sedang menyaksikan perrtunjukkan di Ford`s Theater.

Meski untuk mewujudkan impian King, Kennedy dan Linclon Amerika harus melalui waktu berabad-abad lamanya. Pembantaian kulit hitam yang tidak berprikemanusian. Nyawa Jhon F Kennedy dan Linclon harus berakhir ditangan sniper, akibat intrik dengan lawan politiknya yang tidak senang pada kebijakannya. Kemenangan Obama semoga tidak membuat perjuangan mereka sia-sia. Kemenangan Obama dapat merubah sinisme banyak pihak, terutama pasca kebijakan Bush menginvansi Irak.

Lalu apa yang salah dengan perbedaan warna kulit, apa yang salah dalam perbedaan jenis kelamian, apa yang salah jika ada negeri yang memilki kekayaan alam yang berlimpah, apa yang salah jika ada orang atau negeri yang memiliki pemikiran berbeda dengan lainya. Bukankah itu semua adalah kekayaan, keunikan dan keberagaman yang tidak penting untuk diributkan. Ada baiknya mulai sekarang kita mengamini apa yang pernah dikatakan Marthin Luther King bahwa hargailah individu dari kemampuanya. Kemenangan Obama sebagai orang nomer satu AS mungkin bisa menjadi representasi pemikiranya dan tanda peradaban di dunia ini sudah mulai membaik.



kos, 09 Nov '08
imie_03.00

Jumat, November 07, 2008

Siapa Suruh Datang Banjir

Musim penghujan nampaknya akan menjadi teman kita dalam beberapa bulan kedepan, tak terkecuali bagi masyarakat ibu kota. Pemandangan tanah becek, genangan air dan kemacetan sepertinya akan sering kita jumpai. Bagi sebagian masyarakat yang kebetulan tinggal dibantaran kali ciliwung, kampung melayu atau daerah lainnya yang dekat dengan aliran sungai, menyelamatkan barang-barang berharaga mereka menjadi rutinitas tahunan.


Biasanya air hujan menjadi tidak bersahabat ketika pintu air di Bogor dan Depok sudah tidak mampu lagi menampung limpahan air hujan. Letak geografis keduanya yang berada tinggi dari permukaan air laut, membuat jakarta selalu mendapat kiriman banjir dari keduanya. Banjir yang tak kenal kompromi pun tidak bisa dielakan, penderitaan masyarakat langganan banjir juga tidak mampu menahan kiriman air mengurungkan niatnya untuk datang membanjiri Ibu kota.

Bagi masyarakat ibu kota, banjir yang terjadi pada tahun 2007 adalah terparah dalam lima tahun terakhir, setelah tahun 2002 yang sempat melumpuhkan jakarta dalam beberapa hari. Banjir yang terjadi pada tahun tahun lalu, merendam hampir 80% wilayah Jakarta dengan Ketinggian air mencapai tiga meter. Praktis banjir yang mengepung hampir sepekan, melumpuhkan segala aktifitas warga dan infrastruktur. Setidaknya lebih dari seribu gardu listrik tidak berfungsi, tidak sedikit sambungan telepon terputus.

Moment musim penghujan memang selalu menjadi kontroversial, baik yang mengharap dengan sangat musim ini datang atau justru tidak menginginkan sama sekali, terutama bagi mereka yang selalu terkena langganan banjir. Petani misalnya, limpahan air hujan menjadi berkah tersendiri untuk mengairi lahan pertanian mereka. sebab, jika biasanya pada musim kemarau mereka harus berusaha dengan keras untuk mendapatkan air, maka tidak demikian ketika musim penghujan datang.

Aku jadi teringat kampung halamanku yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Jika musim kemarau tiba, tidak sedikit dari mereka saling berebut mendapatkan air atau bergiliran mendapatkan air. Ini aku ketahui ketika tidak sengaja aku sering melihat tetanggaku memakai pakaian kebesaran pada malam hari. Maksudku pakaian kebesaran adalah topi bulat yang terbuat dari anyaman bambu, cangkul dan sepatu but, sebuah tribut khas petani. ketidaklaziman itu membuat aku bertanya seputar rutinitas malam hari mereka, karena menurut logikaku saat itu, bagaimana mungkin di hari yang masih sangat gelap mereka melakukan aktifitas di sawah. Belakang aku ketahui , ternyata rutinitas malam hari mereka untuk mendapat giliran air. Biasanya mereka menambak jalur air yang masuk ke lahan yang sedang dialiri air, untuk dibelokan atau diarahkan kelahan yang akan dialiri air sesuai giliran. Bagi yang memiliki lahan dibelakang aliran sungai, harus lebih ekstra sabar untuk menunggu giliran yang lumayan cukup lama.

Namun tidak demikian dimata mereka yang selalu mendapat langganan banjir. musim penghujan selalu menjadi hari-hari yang melelahkan baik moril ataupun materil. Perasaan was-was biasanya kerap kali menghantui mereka, bahkan tidak sedikit dari mereka mulai bersiap-siap sedini mungkin memindahkan barang-barang ketempat yang lebih aman dan lebih tinggi tentunya.

Bagi mereka yang bergelut dalam dunia wacana dan opini, musim penghujan dan banjir menjadi moment untuk menyuarakan pandangan dan pendapat mereka melalui media massa. Biasanya, pemerintah adalah pihak yang tidak luput dari sorotan. Mulai pertanyaan yang tendensinya menyindir, sampai pernyataan yang sifatnya penghakiman atas ketidakbecusan mengelola Negara.

Untuk kondisi itu, jujur aku sependapat dengan para kolumnis, pemerintah memang terkadang hanya berwacana. Misalnya saja, pada November 2006 untuk menghadapi banjir lima tahunan, yang diprediksikan akan terjadi pada tahun 2007, pemerintah DKI Jakarta sudah melakukan persiapan sedini mungkin. Tidak tanggung-tanggung angka 200 milyar lebih dipersiapkan untuk menangani ancaman banjir. Alokasi dana sebear itu digunakan untuk pembangunan pompa air, pembuatan saringan air sungai dan pembuatan waduk pluit di Jakarta utara yang akan menelan dana 4 miliar lebih. Tidak hanya itu, dana cadangan sebesar lebih dari 500 miliar juga telah disiapkan. Bahkan sebanyak 100 perahu karet dan sistem peringatan dini sudah dipersiapkan.

Namun ternyata persiapan tinggal persiapan. Segala wacana yang dipersiapkan pemerintah DKI tidak juga mencegah banjir datang. Bahkan sistem peringatan dini yang sudah disiapkan, ternyata tidak berfungsi. Yang lebih menyedihkan adalah penangana korban banjir dilapangan, ternyata tidak sesuai blue print penangaan yang sudah disipakan dengan alokasi dana miliaran rupiah yang telah diwacanakan sebelumnya. Lalu apa yang salah???

Ketika kondisi dan harapan tidak sepaham, menyalahkan dan melempar tanggung jawab menjadi kebiasaan mental bangsa kita. Premprov DKI misalnya, ketika pihaknya tidak juga mampu mencegah banjir dengan sekenario yang sudah disusunya, daerah penyangga Jakarta seperti bogor, puncak dan sekitarnya biasanya menjadi tumbal. Dengan alasan ketidakbecusan daerah penyangga jakarta dalam mengelola peghijauan. Lahan yang seharusnya dijadikan serapan air, justru dibangun tempat-tempat peristirahatan atau Vila.

Tak bisa dipungkiri memang, banjir sepertinya sudah menjadi sebuah rutinitas bangsa ini. Letak negara kita yang tepat berada di garis khatulistiwa, membuat Indonesia memiliki dua musim, kemarau dan hujan. Iklim tropis juga membuat indonesia memiliki curah hujan yang tinggi.

Fenomena banjir tahunan atau banjir langganan, kupikir harus jernih melihat masalah ini, melakukan hal-hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya bisa menjadi salah satu solusi pencegahan banjir. Terutama Bagi masyarakat yang mendiami hulu-hulu sungai untuk tidak lagi membuang sampah ke sungai.

Jika semua pihak baik pemerintah atau masyarakat hanya saling menyalahkan, aku pikir itu tidak menyelesaikan masalah, mengingat bencana banjir terjadi karena adanya satu kesatuan sistem yang tidak berjalan denga baik. ketika kita terus berada pada persiteruan yang saling menyalahkan, bukanlah cara yang bijak dan solusi tidak akan pernah datang. Bertindak mungkin pencegahan banjir secara kongkrit. Sekecil apapun tindakan kita, ketika itu hanya sebatas wacana, solusi tidak pernah akan datang. Hukum alam memeperlihatkan kepada kita bahwa solusi selalu bersatu pada tindakan, apapun itu bentuknya.

Selamat datang hujun…salamat datang banjir….keep smile

Kos, 1.50 PM – diluar lagi hujan deras

imie

Subprime Mortage di Mata Sahabatku

Tanpa angin tanpa hujan seorang teman bertanya seputar krisis finansial global, yang saat ini sedang ramai diberitakan media massa. Mendengar berondongan pertanyaan temanku, mendadak air muka-ku berubah, bingung, heran dan sempat membatin (komunikasi dalam hati) “kesetanan apa nih anak, biasanya yang diomongin seputar gosip, kosmetik, kok tiba-tiba mikirin ekonomi”.

Usut punya usut ternyata dalam sepekan ini ia mengikuti pemberitaan media massa. Kondisi yang sedang dialami temanku ini, setidaknya membenarkan apa yang dikatakan pakar analisis wacana, Fairlough. Bahwa media massa seperti virus yang luar biasa hebat dalam mendistribusikan pesan yang disampaikan, tapi ingat, belum tentu fakta merah tersaji merah, mengingat banyaknya distorsi yang terdapat dalam organisasi media. Itulah mengapa, Fairlough mengingatkan kepada kita untuk tidak pasif dalam menelan pemberitaan media. Kontan biasanya ekspresi wajahku kurang sumringah acap kali keinginannya membuncah untuk bergosip tetangga kamar sebelah, kali ini dengan sangat antusias aku mencoba menjelaskan semampu yang aku pahami.

Diskusi kami diawali dengan pertanyaannya tentang subprime Mortgage yang menjadi awal malapetaka krisis AS, yang akhirnya menjadi krisis keuangan global. Pertanyaannya terlontar tanpa cacat, lepas dan menyakinkan, seolah-olah dia begitu memahami apa yang barusan terlontar dari bibir tipisnya. Aku termenung sejenak untuk mencari kata yang tepat, mudah dan tidak rijit tentunya.

Awalnya aku sedikit tidak yakin dengan apa yang akan aku jelaskan, mengingat pemahamanku sendiri tentang ekonomi tidak begitu baik. Tapi demi seorang teman yang sedang kesetanan krisis ekonomi Amerika ini, aku mencoba menjelaskan semampu yang aku tahu. Beruntung dalam sepekan ini, aku selalu mengikuti rapat-rapat proyeksi berita di kantor tentang masalah ini, dan berdiskusi kanan kiri dengan beberapa teman yang memang sangat menguasai bidang ini.

Untuk diketahui saja, jeung. Dampak krisis Amerika sangat terasa diseluruh belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Buktinya Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat ditutup (suspend) selama tiga hari pada pekan lalu, ini karena Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) anjlok sangat hebat. Kondisi ini membuat otoritas bursa efek harus menutup pasar saham dalam beberapa hari, kalau tidak salah hampir sepekan. Menurut direktur BEI Ferry Firmansyah, penutupan bursa saham dilakukan untuk menyelamatkan pasar. Indikasinya bahwa pasar tidak stabil, terlihat pada awal pembukaan perdagangan di BEI terjadi irasional terhadap pelaku pasar.

“Begini kira-kira ceritanya say” dengan penuh keyakinan aku memulai kuliah singkat ini. Awal krisis ini bermula dari Bank Sentral USA atau The Fed menurunkan suku bunga secara drastis hingga 1%, angka ini adalah suku bunga terendah sepanjang sejaran perekonomian Amerika. Alasan penurunan suku bunga ini dilakukan untuk memulihkan perekonomian AS yang saat itu sedang mengalami resesi . Mendengar kata resesi mendadak air mukanya berubah, " pertumbuhan ekonominya minus atau pertumbuhan ekonominya tidak baik” dengan cepat aku meralat dan kulihat matanya menyiratkan kegamangan yang terobati.

Dalam ekonomi, menurunkan suku bunga adalah langkah yang biasa diambil ketika pertumbuhan perekonomian sebuah negara sedang kocar-kacir. Dengan menurunkan suku bunga, pertumbuhan ekonomi sektor rill akan terbantu. Aku meneruskan penjelasanku yang juga seperti kerasukan setan, karena tiba-tiba aku merasa seperti ahli ekonomi yang sedang memberikan kuliah umum di depan mahasiswa.

Pemahaman sederhananya begini, dengan diturunkanya suku bunga, maka banyak masyarakat atau pengusaha yang meminjam modal ke bank. Pengusaha misalnya, bisa melakukan ekspansi usahanya tanpa membebani operasi perusahaanya. Begitu juga dengan individu atau masyarakat, dengan turunya tingkat suku bunga akan membuat masyarakat berani untuk meminjam kerdit konsumsi. Misalnya kredit kendaraan, bunga kartu kredit.

Dengan pinjaman itu, baik pengusaha maupun individu akan membantu memulihkan atau menumbuhkan perekonomian, karena salah satu indikator pertumbuhan ekonomi yaitu konsumsi meningkat. Akan tetapi dengan diturunkanya suku bunga seperti sebuah keniscayaan, sebab akan menurunkan minat masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank. Mereka berpikir lebih baik meng-investasikan uangnya dalam bentuk lain, atau menggunakanya untuk konsumsi dari pada ditabung di bank dengan bunga yang rendah. Dan tidak heran jika perputaran uang di bank berkurang.

Penjelasanku berhenti sejenak, kusambar gelas yang berada disisi kiriku, sepertiga air yang tersisa, setidaknya memberi kesejukan bagi tenggorokanku yang sudah kering kerontang. Itulah kenapa aku mengatakan bahwa aku juga seperti kesetanan untuk membicarakan ini. Diujung tempat tidurku, membelakangi televisi yang sesaat tidak menjadi penting bagi kami, temanku masih setia dengan posisinya, sedikitpun tidak bergeser. Bahkan dengan penuh kesabaran menungguku untuk menghabiskan air dalam gelas yang sedang kupindahkan kedalam mulut.

Uhuk…uhuk mendadak aku tersengguk air yang sedang mengalir ditenggorokanku, sesaat setelah dia melontarkan pertanyaanya tentang hubungan Subprime Mortgage dengan krisis ekonomi AS. Spontan sebuah bantal kecil berwarna merah menyala, berbentuk stroberi kutimpuk kearahnya, beruntung dia menghindar dengan cepat, selamatlah muka kemayunya dari kejengkelanku. Dasar manusia ginchu, alur penjelasanku tidak dipahami juga. Aku menarik nafas panjang.

Begini jeeeeeuuuuung, aku memberi penekanan pada kata-kata itu, mendadak aku kesal bukan kepayang, lagi-lagi demi seorang teman energi kesalku yang membuncah kualihkan dengan energi kesetananku untuk kembali menjelaskan bahwa suprime mortgage menjadi akar krisis ekonomi Amerika.

Seperti yang aku bilang diawal, dengan menurunkan tingkat suku bunga yang diberlakukan bank sentral USA, menyebabkan mortage atau istilah di indonesia kita sering menyebut KPR, menerapkan bunga yang sangat rendah. Matanya seolah mencari jawaban lain atau mengharap aku lebih terang menjelaskan ini, dan aku menangkap kesenewenanya. Maksudnya untuk mengkredit sebuah rumah, bunga yang dibebankan kepada masyarakat rendah. Otomatis keadaan itu menarik minat masyarakat untuk membeli rumah dengan sistem KPR, baik untuk dipakai sendiri atau investasi.

Perlu kita pahami, bahwa sektor properti dalam menghasilkan produknya membutuhkan waktu yang cukup panjang, karena ada proses pembangunan disana. Meningkatnya permintaan masyarakat dan panjangnya waktu pembangunan tidak dipahami oleh pengembang properti Amerika. Kondisi ini membuat permintaan dan ketersediaan properti tidak seimbang, akibatnya harga properti menjadi setinggi langit. Ingat hukum ekonomi yang pernah di ajarkan semester dua? bahwa ketika permintaan banyak dan ketersediaan barang sedikit maka akan menaikan harga.

Naiknya harga properti membuat ekspansi masyarakat pada bidang ini juga tinggi, karena mereka berpikir, dalam jangka panjang investasi properti akan naik terus. dan keputusan yang bijak adalah menginvestasikan uangnya pada sektor properti dari pada menyimpanya di bank. Kondisi ini membuat harga properti Amerika setinggi langit.

Disisi lain, pemangkasan tingkat suku bunga oleh bank central Amerika ( The Fed) membuat perusahaan pengembang properti, mendapatkan akses pinjaman murah dari bank untuk melakukan ekspansi usahanya. Dan sirklus ini terjadi berulang-ulang. penjelasanku terhenti sejenak, karena mataku menangkap posisi duduknya yang mulai tak nyaman, aku rasa dia semakin bingung mendengar penjelasanku ini. Rupanya aku tidak menghiraukan bahasa tubuhnya yang meminta aku mengulangi penjelasan yang kupikir sudah membuat aku memeras otak dan aku terus melanjutkan kuliah singkat ini, tanpa titik ataupun jedah.

Untuk diketahui saja, bahwa masyarakat Amerika adalah masyarakat yang paling konsumtif di dunia. Sebagai contoh, tabungan mereka pada tahun 2005 minus 0,5 % dari pendapatan mereka. Artinya konsumsi mereka lebih tinggi dari pendapatan mereka, maka tidak heran jika banyak dari warga Amerika yang mencarai tambahan income, dengan melakukan re-financing. Mendegar istilah yang baru saja kusebutkan, bola matanya berputar, seolah mencari penjelasan. Tapi aku tetap tidak menghiraukan kegelisahannya mencari pemahaman sederhana atas penjelasanku, justru situasi itu membuat aku merasa menjadi orang hebat, seperti kebanyakan para ahli yang sering menggunakan istilah-istilah jlimet, hanya ingin terlihat bahwa mereka adalah orang pintar dan hebat. Padahal sesungguhnya, menjadi hebat atau ahli bukan lantaran membuat pendengar atau pembaca sulit mencerna penjelasannya, melainkan mudah dan sederhana memahami penjelasan.

Meningkatnya harga properti, kemudahan kredit serta rendahnya tingkat suku bunga, membuat masyarakat Amerika berbondong-bondong membeli properti, dengan cara mengambil pinjaman melalui bank dengan jaminan rumah yang sama. Uang pinjaman dari bank, biasanya mereka gunakan untuk konsumsi maupun investasi kembali pada properti yang lain. Alasannya karena tergiur oleh harga properti yang semakin malambung dan kondisi ini membuat harga properti semakin menggila. Usaha seperti ini yang aku sebut re-financing yang dilakukan masyarakat Amerika.

Kulihat anggukan pelan dari wajahnya, “lalu” pertanyaannya menuntut aku semakin memeras otak, tapi demi sahabatku yang sedang kesetanan atau indikasi bahwa kepedulian dia tidak lagi hanya seputar ginchu dan konconya, tanpa beban aku teruskan kuliah singkat, meski harus terus memeras otak untuk mengingat diskusi-diskusi seputar ini tempo hari yang lalu. Kalau kata dosenku jaman kuliah dulu, Pak Jamiludin Ritonga, kondisis seperti ini adalah penggalian memori yang terendap.

Lalu, aku melanjutkan. Meningkatnya permintaan properti membuat institusi keuangan berlomba-lomba menawarkan kredit KPR. Bagi institusi keuangan mengucurkan dana untuk KPR bisa dijadikan usaha untuk mendapatkan keutungan lebih, mengingat jangka peminjaman yang relatif panjang, bisa mendapatka bunga yang relatif panjang, ditambah adanya jaminan berupa rumah pula. Salah satu cara menjaring customer adalah dengan menerapkan sistem Adjustable Rate Mortega (ARM), dengan iming-iming tingkat suku bunga pada 2-3 tahun pertama sangat rendah, namun pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi. Maka berbondong-bondonglah masyarakat mengambil penawaran itu, meski bunga yang dibebankan pada tahun ke empat akan naik, tapi keyakinan harga properti akan naik terus, membuat masayarakt memutuskan menerima penawaran itu.

Sayangnya dalam menjaring customer, pihak institusi keuangan tidak selektif menjaring calon peminjam kredit. Hanya berkaca pada keuntungan semata, masyarakat yang secara finansial tidak baik, tetap mereka loloskan. Ditengan perjalanan kredit, tidak sedikit masyarakat yang tidak mampu lagi membayar cicilan akibat sistem ARM yang diterapkan. Akibatnya terjadi kemacetan kredit. Dan inilah awal krisis di Amerika yang berimbas pula pada belahan dunia, tidak terkecuali Negeri kita ini, Dev. Paparku

(Untuk pembaca yang budiman, silakan menambahkan atau meralat penjelasanku seputar latar belakang krisis finansial global ini, agar kebinguangan temanku yang sedang kesetanan ini, bisa terobati…he..he..)

KOS, sebelum berangkat ke kantor - 8.43 AM

imie

Selasa, November 04, 2008

Kita dan Malysia

pada bulan juni tahun lalu, saat saya berkunjung ke Malaysia untuk mengikuti ASEAN CAMPUS JURNALIST, ada sesuatu yang membuat saya sedikit terheran-heran dan akhirnya bisa sedikit menyimpulkan latar belakang kenapa negeri jiran sering kali mengkalim seni da budaya kita adalah miliknya.

Begini kira-kira ceritanya, untuk lebih mengenalkan budaya da seni malaysia panitia membawa kami berkunjung kesalah satu desa, tepatnya di daerah Johor yang tidak begitu jauh dari Kuala Lumpur. Untuk sampai kesana Perjalanan yang ditempuh hanya memakan waktu kurang lebih 60 menit dengan menggunakan jalan darat.

Parit Bugis adalah nama desa itu, Sekilas bagi kita yang ada di Indonesia nama itu sepertinya tidak asing lagi ditelinga, yaitu salah satu suku yang ada di daerah Sulawesi sana.

Seperti kebanyakan negara dalam menyambut tamu-tamu kenegaranya, acara ceremonial sepertinya tidak pernah ditinggalkan, entahlah apakah ini sebuah tradisi atau salah satu cara mempromosikan negara melalui seni dan budayanya didepan 22 delegasi dari 10 negara anggota ASEAN. Meskipun kegiatan penyambutan seperti ini hanya sebuah ceremonial, tapi saya rasa cukup efektif untuk memperkenalkan seni dan budaya bagi pendatang khususnya tamu-tamu negara. kesimpulan ini didapat saat saya berbincang-bincang dengan salah satu delegasi dari Vietnam dan Kamboja, betapa dia begitu semangat bercerita tentang malaysia, tentunya tentang hal-hal baru yang tidak mereka temui dinegaranya.

Awalnya saya penasaran tentang upacara penyambutan yang diadakan oleh penduduk Parit Bugis, karena saat itu saya berpikir akan menyaksikan sebuah seni dan budaya yang tidak ditemukan di negara saya, seperti yang dirasakan oleh dua teman saya tadi. Ekpresi rasa ingin tahu yang cukup tinggi pun menyelinap dalam benak saya, hal demikian pun terlihat dari ekpresi yang diperlihatkan teman-teman dari negara lain. Satu yang kutangkap dari ekpresi mereka adalah rasa penasaran pada pertunjukan yang akan diperlihatkan pada kami semua.

Tapi ternyata apa yang saya pikirkan dalam perjalanan tentang pertunjukan seni dan budaya Parit Bugis tidak membuat saya terkagum-kagum seperti halnya yang terjadi pada teman-teman dari negara-negara lain, justru rasa kecewa yang ada dalam hati. saya hanya berpandangan dan terus berkomunikasi dengan bahas tubuh kami saja dengan teman yang juga dari Indonesia, saat pertunjukan Reog dan Kuda Lumping meliuk-liuk didepan kami, dengan iringan musik yang begitu sangat khas ditelinga kami.

Padahal saya berharap dapat menunjukan wajah seperti yang terlihat diwajah teman-teman saya yang terlihat begitu terpukau melihat pertunjukan seni Reog dan Kuda Lumping yang dibawakan. Justru yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah " loh kok Reog dan Kuda Lumping? kesenian ini kan sering saya lihat di Indonesia?.."

Keterheranan saya terus berlanjut sampai waktu makan siang, karena kebetulan seluruh delegasi diajak untuk mencicipi cita rasa masakan khas desa Parit Bugis yang lagi-lagi tidak asing dilidah saya. Ada ketan hitam yang disiram dengan santan ( kalau di Indonesia biasanya jadi campuran bubur kacang ijo ) , daging balado, Tape ( peuyem ) tentunya dengan nama yang berbeda. Duh saya jadi menyesal tidak dapat menuliskan nama lain makanan itu karena buku yang berisi catatan nama-nama makanan itu hilang dan sampai sekarang belum ditemukan.

Keterheranan dan rasa penasaran saya dengan banyaknya persamaan baik seni, budaya atau makanan yang ada pada akhirnya terjawab, itu juga saya dapatkan setelah saya berbincang dengan salah satu penduduk yang kebetulan berasal dari Indonesia yang sudah menetap lama di desa ini dan menjadi warga negara Malaysia. Menurut penjelasan beliau nenek Moyang Desa Parit Bugis ternyata berasal dari Bugis Makasar Sulawesi dan pulau jawa. Wah..mendengar cerita penduduk itu saya jadi menyimpulkan sendiri bahwa banyaknya persamaan baik makanan dan budaya yang ada di desa ini ternyata karena nenek moyangnya berasal dari Indonesia.

Bisa jadi hal itulah kenapa banyak sekali budaya kita yang diklaim milik negara tetangga yang memang masih serumpun.

Jadi tak heran jika pemberitaan media massa akhir-akhir ini tentang hubungan Diplomatik antara Indonesia dan malaysia semakain meruncing saja, lagi-lagi yang menjadi akar permasalahanya adalah klaim-mengklaim budaya. Sebut saja seni "Reog" yang berasal dari daerah Ponorogo Jawa Timur, lagu daerah Maluku " Rasa sayange", seni sunda "Angklung", "Batik". Jika sudah begini mungkin cara yang bijak dan bermartabat adalah dengan mendaftarkan seluruh seni dan budaya kita kepada HAKI, agar tidak lagi terjadi klaim-mengklaim budaya.

Imie
2.41 PM

Perkara Jodoh


Secara kasat mata sepertinya tidak ada korelasi antara kunci dan perkara jodoh, mengingat kunci adalah sebuah alat dan jodoh adalah pasangan hidup, soulmate, rahasia Tuhan dan masih banyak mungkin defenisi tentang jodoh.

Begini kira-kira penjabaranya, Dua bulan yang lalu, saya sempat kehilangan sebuah kunci, bukan kunci kamar, bukan pula kunci brangkas, cuma sebuah kunci kendaraan. Riwayat hilangnya kunci itu sebenarnya sangat klise, cuma karena Gunawan teman sekantorku lupa menyimpan dan meletakan kunci itu setelah ia memakai kendaraanku.

Tidak begitu ingat bagaimana kronoligisnya, kenapa gunawan sampai lupa meletakan dan menyimpan kunci itu, yang jelas memang pada saat itu suasana dikantor sedang sedikit krodit.

Aku sempat kesal dibuatnya, pasalnya kalau sampai kunci itu tidak ditemukan alamat aku tidak bisa pulang. Beruntung salah seorang temanku dikantor berbaik hati untuk meminjamkan kendaraanya untukku. dan lebih beruntung lagi keesokan harinya adalah hari libur alias weekend, dengan begitu ada cukup waktu untuk membuat kunci baru.

Tepat hari senin, kunci duplikat kendaraanku selesai dikerjakan, dengan wajah yang sumringah tanpa dosa, gunawan memberikan kunci duplikat itu padaku. ternyata temanku yang satu ini bertanggung jawab juga rupanya, kalo tidak mungkin aku sudah memasukan dia pada daftar laki-laki "LTB" (ini cuma sebutanku saja untuk laki-laki yang tidak bertanggung jawab, karena sejatinya seorang laki-laki akan dianggap kesatria, dan sebenar-benarnya lelaki dimata para perempuan, jika mereka bertanggung jawab atas apa yang dilakukanya,

Meskipun kunci duplikat sudah berada ditanganku, tapi aku masih berharap kunci yang asli bisa ditemukan, pasalnya gantungan yang ada pada kunci itu adalah sebuah miniatur bangunan yang aku suka sekali, dan sedikitnya diperlukan waktu penerbangan kurang lebih dua jam, belum lagi biaya visa dan lain-lainya. Tapi mau bagaimana lagi, bukankah cara yang bijak adalah mengikhlaskannya untuk sesuatu yang kita miliki harus pergi, hilang dan mungkin menjadi milik orang, meskipun rasanya tidak rela dan sedih pastinya. Kalau sudah begitu sebutan yang pas adalah " belum jodohnya".

Hampir kurang lebih dua bulan dari hilangnya kunci itu, sedikit demi sedikit aku bisa menerima dan membiasakan dengan kunci duplikat yang ada, meskipun awalnya selalu kesal karena pasti aku selalu ingat gantungan kunci itu tiap kali aku memegang kunci duplikat itu, dan ini membenarkan apa yang pernah di ucapkan oleh…hmmm aku lupa siapa yang mengatakan ini, bahwa perubahan menimbulkan ketidaknyamanan. tapi itulah pelajaran yang paling berharga yang bisa kita ambil, ketika kita bisa membuat ketidaknyaman berangsur-angsur menjadi nyamana, tapi rupanya realita yang kita jalani tidak semudah itu.

Tepat di bulan ketiga, aku dikagetkan oleh sesuatu yang sudah dua bulan ini luput dari penglihatanku. Ternyata KUNCI-ku yang dulu hilang kembali lagi. saat itu cuma senyum yang tersungging dibibirku dan tentunya keinginan untuk mencari tahu krnologis keberadaan kunci itu terus bergelanyut dikepalaku. Orang pertama yang aku tanyai adalah Mas Didi karena kebetulan dia yang petama aku temui pagi itu. tanpa banyak basa-basi aku langsung bertanya perihal kunci itu, dan ternyata aku menanyakan pada orang yang tepat rupanya, pasalnya dia lah yang menemukannya.

Aku cuma mengrenyitkan dahiku mendengar penjelasan dia, bahwa kunci itu dia temukan disekitar tempat sampah kering. pasalnya dan jika aku telaah secara logika, bagaimana mungkin kunci itu baru bisa ditemukan pada bulan ketiga, mengingat tiap hari pastinya OB kantor selalu membersikan area itu, logikanya kunci itu bisa dilihat tiap kali para OB membersihkan area itu, tapi nyatanya kunci itu baru terlihat pada bulan ketiga.

Mungkin inilah refleksi perkara jodoh, dramatis, puitis, tidak bisa ditebak dan kadang tidak bisa dilogikakan. Pelajaran yang bisa diambil dari ini semua adalah, bahwa kalau memang jodoh ternyata tidak akan kemana. Meskipun kita harus mengalamai drama perpisahan, kesedihan, ketidakikhlasan, tapi kalau Tuhan sudah metakdirkan itu jodoh kita, apapun jalanya pasti akan menjadi milik kita. Tapi tentunya itu semua tetap harus dibarengi usaha dan ikhtiar, karena bukan berarti segala sesuatu akan datang dan secara tiba-tiba turun dari langit. seperti halnya kunciku, sebelum akhirnya menjadi milikku lagi, ada upaya mencari kunci itu kesegala penjuru, tapi bahwasanya akhirnya tidak ditemukan, ya bearti itu takdirnya.

Imie

FINS, 8:04 PM